Jumat, 30 Oktober 2009

Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Selasa, 06 Oktober 2009

Hampa

Terbacakan suasana hampa
Tanpa terdengar sepatah kata
Yang terdiam dengan tatapan kosong
Dan seiring lantunan suara nafas
Berhembus dengan lirih di hadapanku
Dapat kurasakan hangatnya...

Sesuatu tiada yang kunanti
Hanya sunyi yang tercipta
Tertunduk merenung seiring waktu berjalan
Membisu...tanpa kehadiranmu
Tertuju pada suatu pandangan gelap

Pandangan kosong tepatnya, tanpa secerah sinar harapan
Mimpi yang tak mungki nyata
Dan tak mungkin terungkap

Hari Ini

Sang Mentari bersianar dengan bahagia
Dengat kehangatan menyelimuti kita
Diaman senyuman mengiringi

Mataku tak lepas memandang sosok pesonamu
Saat kau dan aku duduk berdua
Seiring canda dan tawa tertorehkan
Walau di bawah teriknya matahari

Ku ingin selalu di sampingmu
Mendekatlah kau denganku setiap saat
Seperti hari ini
Yang penuh cinta

Kuingin

Senjaku datang bertumpuk di hati
Pagi telah kulewati dengan lalu
Inginku mengoyak hatiku
Dan memecahkan kepalaku

Semua telah berlalu
Hari esok kan datang menjemput
Dan ku kan mulai langkah baru
Berjalan setapak melewati ini
Meskipun dengan hati gundah
Walaupun masih ada luka di jiwa

Menggulung semua kenangan
Tanpa Terucap kata perpisahan
Hanya tetesan air mata yang hadir
Tapi kuingin selalu dekat denganmu
Merasakan hangatnya pelukamu
Dan hadir dalam setiap hari-harimu

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi, kuingin habiskan waktuku di sisimu...sayangku
Berbicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga
Manis di Lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati kelaparan di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku...
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpatik padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kia tak pernah menanam apa-apa
Kita tak kan kehilangan apa-apa
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu ? memintaku minum susu
Dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Kabut titispun turun pelan-pelan di lembah kasih, Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang jadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau membelaiku semesra dahulu ?
Ketika ku dekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat
Apakah kau masih akan bekata "ku dengar detak jantungmu"
Kalau begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta

Manadalawangi-Pangrangro

Senaj ini, matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbacara tentang manfaat dan guna
Aku berbicara tentang padamu tentang cinta dan keindahanmu
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau diterima aku
Aku cinta padamu, Pangrangro yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan berbicara padaku tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrangro
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Pesan [awal 1966]

Mata yang mengantuk ini,adalah mata untuk
memandang wajahmu yang bening seperti riak air.
Tangan yang kasar ini, adalah tangan untuk
membelai rambut halusmu
Dan hati yang marah ini adalah hati untuk
mencintai kau gadis-gadis yang rendah hati

Bersandarlah pada tangan ini
tangan-tangan yang kuat dan terkepal
Dan marilah tengadah kelangit hitam
sambil menghitung bintang-bintang
Atau bicara tentang cita-cita rakyat yang agung
tentang sekolah anak-anak Bu Siti atau cita-cita Pak Miun

Hari ini aku lihat kembali wajah-wajah halus yang keras
yang berbicara tentang kemerdekaan dan demokrasi
Dan bercita-cita menggulingkan Tiran-tiran

Aku mengenali mereka yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang mau membasmi korupsi

Kawan-kawan kuberikan padamu cita-ku
dan maukah kau berjabat tangan selalu,
dalam hidup ini . ?
Dengan puisi aku bernyanyi sampai senja umurku
Dengana puisi aku bercinta berbatas cakrawala

Dengan puisi aku mengenang keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku mengais jarum waktu bila kejar mengiringi

Dengan puisi aku memutif nafas jalan yang busuk
Dengan puisi aku berdoa perkenankanlah kiranya

Minggu, 04 Oktober 2009

Kenapa & Mengapa

Dengarkanlah ini
Bacalah ini orang yg ku cinta
aku tak pernah tau
Mengapa dan Knapa

Kau memberikan harapan itu padaku

Harapan yg penuh tanda tanya

Apakah ini tulus dari hatimu
Apakah sebaliknya ?

Aku tak pernah tau knapa kau memberikannya
Aku tak pernah tau mengapa kau menorehkannya

Aku berharap itu tulus
Itu murni dari cintamu

Kapan & Tak Pernah Tau

Ku telah lama melangkah
Ku telah lama berjuang

Saat lalu ku teteskan peluh cintaku
Ku kucurkana air mata hatiku
Demi menggapai cintamu dalam keabadianku

Tapi aku tak pernah tau tentang apa yang kau rasa
Saat aku melakukannya
Saat kau dalam gelap dan ku bawa lampion bahagia
Atau di saat sedihmu hadir ku belai dengan candaku

Kapan aku harus mengakhiri

Dan aku pun tak pernah tau